Ilmu Itu Telah Pergi

Suatu hari di madrasah al-Shaulatiyyah, ada sesuatu yang luar biasa, tepatnya kesedihan yang susah tergambarkan dengan kata-kata. Kesedihan akibat kehilangan yang teramat dalam. Kesedihan yang berbaur dengan kebanggaan. Kehilangan yang bertabur dengan keharuan. Saat itu Mudir al-Shaulatiyyah membuka rahasia hatinya atas cintanya yang teramat dalam pada muridnya, Zainuddin. Cerita ini adalah cerita gairah ahli ilmu pada sukacita mengajar sepanjang tahun di madrasah tertua di jazirah Arabia itu. Cerita tentang kehadiran murid cerdas dan paling berpengaruh dalam sejarah madrasah itu. Dialah Zainuddin, putra Indonesia itu.

Suatu hari Zainuddin datang dengan penuh harap untuk menjadi murid di madrasah itu. Disandangnya ijazah sekolah dasar pemerintah Belanda, namun takpenting ijazah itu yang terpenting hari itu Zainuddin memasuki halaman madrasah itu. Hari itu Zainuddin diterima oleh guru Muda bernama Hasan bin Muhammad. Guru muda yang nyaris seumuran dengan Zainuddin.

Hari itu juga sang guru meminta Zainuddin agar siap diuji. Ujian pun berjalan lancar. Berdasarkan hasil tes itu, Zainuddin dinyatakan lulus dengan kenyataan yang tidak dibayangkannya. Ia dinyatakan lulus di kelas tiga. Dalam rasa tidak percaya, Zainuddin memohon langsung pada guru muda yang berada di hadapannya agar ia diperkenankan tidak langsung di kelas tiga. Ia meminta agar bisa belajar dari kelas dua. Keinginannya itu tidak langsung diterima karena berdasarkan hasil placement test itu Zainuddin berhak di kelas tiga. Dengan pertimbangan yang disampaikan oleh calon murid cerdas itu, akhirnya ia diperkenankan masuk di kelas dua.

Bismillah, hari itu ia belajar di kelas dua.

Murid kelas tiga yang belajar dikelas dua itu ternyata murid luar biasa. Kemampuannya sangat luar biasa. Diikutinya proses belajar itu dengan mudah, namun justru kemudahan belajar bagi Zainuddin yang super cerdas itu membuat guru di kelas menjadi kurang nyaman. Ketidaknyamanan itu bukan bermakna negatif. Hal itu karena guru harus memiliki cara berbeda menghadapi murid al-Indonesiy itu. Ia bukanlah murid biasa dengan kemampuan rata-rata, namun dia adalah murid dengan kecepatan belajar yang luar biasa.

Guru kelas dua menyadari potensi muridnya dan progress murid tersebut dilaporkan kepada mudir atau kepala sekolah. Sidang dewan guru menetapkan Zainuddin untuk dinaikkan kelasnya. Sidang itu terasa istimewa karena gurunya menginginkan ia tidak naik kelas dengan kawan-kawannya atau naik ke kelas tiga. Sidang menaruh perhatian luar biasa pada murid fenomenal itu. Mungkin saja tidak seluruh guru tahu bahwa murid itu dahulu memang murid kelas tiga yang meminta ditempatkan di kelas dua. Sidang yang taklazim itu kemudian menempatkan Zainuddin dengan keputusan luar biasa. Zainuddin meninggalkan kelas dua dan melompati kelas tiga.

Zainuddin akhirnya diputuskan untuk ditempatkan di kelas empat. Bukankah dahulu ia meminta kelas tiga. Bukankah benar pertimbangan gurunya Hasan bin Muhammad bahwa kelas dua tidak cocok baginya. Bukankah itu berarti kelas tiga memang bukan untuknya. Ia sebenarnya murid kelas empat. Lalu dijalaninya tahun-tahun belajar di kelas empat itu. Sungguh di kelas ini juga ia menjadi murid yang luar biasa. Guru-guru di kelas empat justru menjadi kerepotan mengajar bukan karena menghadapi murid yang masuk kelas akselerasi tersebut. Para guru bukan repot karena harus mengajar murid dengan beberapa penyesuaian tersebut. Yang menjadi soal adalah guru super cerdas ini ternyata sama sekali tidak mengalami kesulitan mengikuti pelajaran.

Menghadapi kelas Zainuddin, para guru tidak seperti menghadapi kelas yang lain. Para guru harus belajar ekstra sebelum masuk kelas Zainuddin. Para ulama itu benar-benar harus siap jika masuk mengajar di kelas Zainuddin. Para ulama itu harus benar-benar siap mengajar jika masuk ke kelas Zainuddin. Para guru bangga memiliki murid cerdas tersebut namun tentu saja kebanggaan itu harus berimbas pada keseriusannya belajar mempersiapkan diri menghadapi muridnya, Zainuddin dan kawan-kawan.

Dikelas empat Zainuddin juga mendapat teman baru yang justru telah mengenyam pelajaran kelas tiga. Lama belajar temannya saat kelas tiga dahulu dan juga umurnya tentu saja berbeda dengan Zainuddin. Dikelas ini lagi-lagi Zainuddin membuat teman sekelasnya geleng-geleng kepala. Bagaimana mungkin murid dari Lombok itu tidak kesulitan sama sekali dalam semua mata pelajaran. Maulana Hasan bin Muhammad juga begitu riangnya setiap kali mengajar di kelas Zainuddin.

Syaikh Hasan kerap membawa karangannya ke dalam kelas Zainuddin. Salah satu kitab karangannya adalah al-Taqrirat al-Tsaniyyah syarah al-manzumat al-Baiquniyyah. Saat dikelas itu, sang Syaikh meminta Zainuddin mengoreksi (mentashih) karangannya langsung di depan kawan-kawannya. Syaikh Hasan yang bergelar al-Muhaddis al-ushul tersebut tidak memintanya secara personal namun permintaan tersebut ditunjukkan secara terbuka di depan teman-teman Zainuddin. Secara nyata (hal) Maulana al-Hasan menyatakan bahwa muridnya super cerdas itu adalah ulama yang berhak mentashhih kitab karangan ulama, dalam hal ini tidak lain adalah gurunya yakni ulama al-Shaulatiyyah yang amat disegani. Guru murid itu ternyata ulama.

Saat suasana belajar di kelas itu, Zainuddin menolak permintaan gurunya mengoreksi kitab tersebut namun sang guru terus meminta agar Zainuddin memeriksa kitab karangannya. Zainuddin malu pada dirinya dan juga sungkan kepada temannya. Zainuddin merasa diri sangat tidak layak mengoreksi karangan gurunya dan apalagi itu dihadapan kawan-kawan sekelasnya. Kitab itupun (terpaksa) diterimanya dari sang guru dan didekapnya erat di jalanan pulang ke kosannya sambil menikmati pikirannya yang berkecamuk tentang hari belajar yang takwajar itu.
Sampai akhirnya beliau membaca kitab tulisan gurunya tentang ilmu hadits tersebut. Benar saja ujian khusus dalam bentuk koreksi kitab oleh Maulana al-Hasan telah menempatkan murid cerdas itu pada bagian khusus di hati para ulama haramain tersebut. Ia dengan penuh ta’zim menyampaikan catatannya pada kitab tersebut sebagai masukan atau koreksi. Dengan hati-hati ditulisnya catatan koreksi itu. Dengan penuh kehati-hatian pula demi menjaga ta’zim disusunnya ungkapan yang tepat ketika memberi catatan koreksi tersebut.

Untuk beberapa pertimbangan beliau menulis: lau kana kadza lakana ahsan. [Seandainya ditulis begini mungkin lebih cocok]. Beliau bercerita bahwa komentar itu juga tidak sulit namun adab kepada guru itu sangat sulit dijaga. Beliau khawatir tidak tepat dalam memberi masukan atau koreksi buku tersebut namun beliau lebih khawatir jangan sampai komentarnya tersebut menjadi kurang sopan (su’ul adab) kepada gurunya. Koreksi beliau pada buku tersebut kurang lebih tiga atau empat tempat.

Para kawan dekatnya juga menyadari keahlian Zainuddin. Syaikh Zakaria Abdullah, kawan sekelasnya dari Sumatera. Seorang murid al-Shaulatiyyah yang ahli bahasa itu mengenang bagaimana ia takkuasa membendung hasratnya mengalahkan Zainuddin. Zainuddin adalah kawan dekatnya sekaligus saingan beratnya. Zainuddin adalah sahabatnya sekaligus kompetitor tangguhnya di al-Shaulatiyyah. Zakaria minimal telah belajar di al-Shaulatiyyah lebih lama daripada Zainuddin. Zakaria maksimal belajarnya, sempurna pula rajinnya merasa bahwa suatu saat nanti ia dapat mengalahkan Zainuddin sekali saja.

Sampailah pada suatu hari ia menemukan cara jitu mengalahkan classmate-nya itu. Itu jelang ujian akhir tahun dan salah satu mata ujiannya adalah Tafsir. Salah satu referensi tafsir itu hanya ada di perpustakaan al-Shaulatiyyah dan tidak dijual bebas. Bergegas ia menuju perpustakaan al-Shaulatiyyah dan meminta kepada penjaga perpustakaan itu agar kitab tersebut dipinjaminya dan disimpankan untuknya untuk diambilnya nanti. Ia juga berpesan agar tidak memberi tahu siapapun yang mau meminjam buku itu.

Sambil menyusuri jalanan kota Makkah ia kembali ke kosannya. Dalam terpekur mengukur jalanan itu, ia menaruh yakin bahwa paling tidak di pelajaran tafsir ia akan mampu mengalahkan Zainuddin. Rupanya Zainuddin juga mencari kitab yang sama. Suatu hari Zainuddin menuju perpustakaan itu untuk meminjam kitab yang sama. Ia berusaha membolak-balik kitab-kitab tersebut. Nihil. Takjua dijumpainya kitab tersebut. Ia yakin kitab itu ada dibarisan atau jejeran buku-buku tafsir tetapi kini kemana buku itu. Ia kemudian berpikir bahwa buku tersebut pasti sudah ada yang meminjamnya.

Zainuddin pun bergegas menuju penjaga perpustakaan tersebut. Sang penjaga mengatakan bahwa dia tidak tahu tentang buku itu. Zainuddin pun bertanya lagi untuk menepis keraguannya bahwa buku itu memang pernah ada di perpustakaan. Tanyanya yang ragu dan berulang itu meyakinkan dirinya bahwa sang penjaga agaknya menyimpan sesuatu. Diyakininya dari raut mukanya dan nada serta gaya bicaranya yang tertahan itu, sang penjaga menyimpan konspirasi dengan peminjam buku tersebut.

Zainuddin lalu mendekatkan wajahnya kepada penjaga itu dan berkata dengan setengah berbisik, ”siapa sebenarnya yang pinjam buku itu, tolong beri tahu saya“. Awalnya sang penjaga takbergeming namun akhirnya dia membisikkan kepada Zainuddin agar rahasia konspirasi penjaga dengan siapa yang meminjam buku itu tidak bocor. Sudahlah, kalau Zakaria yang meminjamnya pasti aku akan dapat meminjamnya.

Dalam langkah berpaut tanya yang tak selesai ia pun menuju kosan Zakaria. Dia berdiri ragu didepan pintu. Salam pun terucap dan sang pemilik kosan pun keluar. “Saya mau pinjam buku itu, berikan saya membacanya karena sudah Anda pinjam”. Betapa terperanjatnya Zakaria karena ternyata kongkalikong-nya dengan penjaga perpustakaan terbongkar. Walaupun begitu tekadnya mengalahkan Zainuddin di mata pelajaran ini tetap dikukuhkannya. Ia juga semakin kukuh meyakinkan kawan baiknya tersebut bahwa bukan dia yang meminjam buku tersebut. Mata batin Zainuddin melihat gejala ketidakwajaran itu namun begitu, tampaknya ia lebih memilih sabar dan kemudian berpamitan pada kawan baiknya tersebut. Ia terjebak dalam dilema antara ingin benar membaca buku itu dengan membongkar trik takmanis kawannya itu dan mengukir sabar bahwa persahabatan lebih utama dibandingnya meraih rangking di kelas.

Cerita ini tak terungkap jika saja Syaikh Zakaria, ulama sekaligus pedagang serta pengarang cerdas tidak menceritakannya sendiri kisah konspiratif tersebut. Untuk mengalahkan Zainuddin ia harus menyembunyikan kitab referensi tersebut dan membacanya sendiri dengan harapan pembaca tentu tahu isi kitab tersebut dan tentu dapat menjawab soal-soal ujian itu dengan mudah. Praduganya terkubur ketika hasil ujian diterimanya. Ia menatap sahabatnya itu dalam rasa kagum yang teramat dalam. Bagaimana mungkin Zainuddin mampu menjawab dengan demikian sempurna setiap soal dalam kertas ulangan itu. Bahkan di beberapa jawaban tersebut Zainuddin merangkai jawabannya dengan syair (puisi) secara spontan saat ujian itu.

Zakaria mengubur hasratnya menyaingi Zainuddin dan serta merta mendayung rasa kagumnya pada kawannya itu. Zainuddin yang menjadi korban upaya cerdas menekuk langkahnya yang selalu sukses juga sesungguhnya tahu itu namun jika saja tidak diceritakan oleh sahabatnya itu maka cerita kekaguman yang berbau sabotase itu takkan terungkap. Zakaria niatnya hanya menguji apakah dirinya mampu mengalahkan sahabatnya itu dalam hal nilai bukan semata ingin mengalahkan atau menjatuhkan Zainuddin. Ia juga ingin menguji kadar kealiman kawannya itu jika saja materi tersebut ujian tersebut luput dari belajarnya.

Nyatanya kealiman Zainuddin semakin memesona dirinya, kawannya, guru-gurunya dan juga seluruh keluarga al-Shaulatiyyah. Pesona kekaguman itulah yang diceritakan bahwa bagaimana sedihnya keluarga besar al-Shaulatiyyah ketika Zainuddin tamat dan pulang ke Indonesia. Benar saudaraku, ini bukan cerita kekaguman namun ini adalah cerita kesedihan atas kehilangan murid terbaik al-Shaulatiyyah. Tamatnya Zainuddin telah menjadi prasasti abadi kebanggaan al-Shaulatiyyah namun juga kepergian Zainuddin dari halaman al-Shaulatiyyah telah menciptakan rasa dan aura kehilangan yang tiada tara bagi al-Shaulatiyyah.

Saudaraku, tentu yang pernah belajar langsung kepada Maulana al-Syaikh tahu bahwa sekian pujian yang disampaikan oleh guru dan pimpinan madrasah al-Shaulatiyyah. Pujian al-Syaikh Amin Kutbi, madah Syaikh Salim, ikrar Syaikh Hasan Masysyath, sanjungan kawan-kawannya, semua itu bukan semata pujian. Itu semua bahasa batin, nyanyian jiwa, nada sukma yang mengalir pada diri para ulama besar itu dan mengalir dalam tutur magis itu. Ini bukan keceriaan menyaksikan bulan yang menerpa alam. Ini adalah nyanyian pujian dan kesaksian pada terang bulan yang menjadi suluh dalam gelap alam maya dengan segala kelebihan yang tidak dimiliki murid lain sepanjang sejarah al-Shaulatiyyah.

Ketika Zainuddin sudah tidak lagi di altar madrasah al-Shaulatiyyah itu kehilangan itu amat nyata. Kehilangan yang teramat sangat itu dirasakan oleh pribadi ulama besar bernama al-Syaikh Salim Rahmatullah, guru sekaligus mudir al-Shaulatiyyah kala itu. Kecintaaannya pada Zainuddin terungkap lewat tuturnya yang teramat dalam: cukuplah al-Shaulatiyyah punya satu murid saja asalkan seperti Zainuddin. Ia bernostalgia bagai waktu dahulu saat Zainuddin masih di al-Shaulatiyyah. Ia kerap bermimpi akankah ada murid al-Shaulatiyyah yang serupa atau mendekati kealiman Zainuddin.

Ungkapan Syaikh Salim itu benar dan jelas bahwa itu adalah bahasa cinta sekaligus bahasa kekaguman atas pribadi yang dicintainya. Zainuddin adalah putra terbaik yang pernah dididik di al-Shaulatiyyah. Zainuddin adalah murid terbaik yang pernah belajar di al-Shaulatiyyah. Zainudddin adalah pemuda terbaik yang melukis keshalihannya dengan belajar jutaan hikmah dari guru-gurunya. Zainuddin adalah anak emas yang telah dilahirkan oleh alam dan dibesarkan di al-Shaulatiyyah. Zainuddin adalah kekasih Allah yang dirasakan hikmahnya oleh al-Shaulatiyyah sepanjang zaman.

Mudir menyadari itu. Mudir menyadari kehilangan yang tiada tara itu. Mudir menyadari bahwa Allah belum menitipkan lelaki cerdas melebihi Zainuddin. Gedung al-Shaulatiyyah seakan merana, penghuninya nelangsa, guru-guru nyaris kehilangan gairahnya. Lorong-lorong bisu, kelas kaku, halaman pucat pasi. Musim demi musim hanya menyimpan kenang, akankah ada Zainuddin-Zainuddin lagi yang datang ke al-Shaulatiyyah untuk belajar. Sampai wafatnya Syaikh Salim tak jua dijumpai pengganti murid yang sempurna keshalihan dan kecerdasannya itu. Rasa kehilangan itu terlukiskan lewat ucapannya yang terlampau romantis itu: cukuplah al-Shaulatiyyah punya satu murid saja asalkan seperti Zainuddin. Zainuddin dinilainya sebagai satu-satunya cinta yang dimiliki al-Shaulatiyyah. Dan masa demi masa tidak menyediakan penggantinya.

Kesedihan dan rasa kehilangan itu diceritakannya kepada murid-muridnya. Mudir selalu, hampir selalu merenung setiap kali mengingat Zainuddin. Salah seorang murid al-Shaulatiyyah yang merekam tangis kehilangan itu adalah Syaikh Damanhuri seperti yang dituturkan muridnya. Dalam cerita beliau, seperti dituturkan salah satu murid al-Shaulatiyyah Syaikh Sahri Ramadlan (kastsarallah mistlah), bahwa betapa al-Shaulatiyyah kehilangan yang teramat sangat. Betapa Zainuddin adalah nama besar ulama al-Shaulatiyyah Makkah bukan semata ulama Indonesia.

Syaikh Damanhuri tidak pernah bersua dengan Maulana al-Syaikh Zainuddin namun nama Zainuddin telah menjadi buah hatinya karena Zainuddin telah menjadi buah bibir Mudir yakni Syaikh Salim Rahmatullah, bahkan keluarga al-Shaulatiyyah. Beliau hampir di tiap pengajian selalu menyempatkan menyebut Maulana al-Syaikh Zainuddin. Aneh. Padahal tidak pernah bersua. Aneh. Bagaimana Allah menanamkan keyakinan pada diri sang Syaikh itu tentang keagungan Zainuddin, murid dari gurunya itu. Bagaimana alumni madrasah al-Falah itu begitu mencintai Zainuddin sebagaimana kecintaan guru-gurunya. Rasa cinta Syaikh Salim Rahmatullah kepada Maulana juga merasuk dalam dirinya.

Salah satu cerita kehilangan yang diceritakannya adalah bahwa dalam sekian kali cerita kehilangan yang tiada tara itu, Syaikh Salim pernah berkata dalam suasana kenang duka kehilangan: zahaba al-ilmu (ذهب العلم), ilmu telah pergi.

Syaikh Salim putra pendiri al-Shaulatiyyah itu menyatakan bahwa keluarga al-Shaulatiyyah telah kehilangan ahli ilmu, al-Shaulatiyyah telah kehilangan kebanggaan. Beliau menyatakan bahwa menara ilmu al-Shaulatiyyah telah redup sinarnya. Sosok Zainuddin tidak dilihatnya sebagai murid semata tetapi Zainuddin adalah referesentasi ahli ilmu dan kepulangannya ke Indonesia adalah kehilangan bagi al-Shaulatiyyah. Zainuddin tidak diyakininya hanya ahli ilmu sebagai pribadi tetapi Syaikh Salim putra Sayikh Rahmatullah itu merasa kekeringan ilmu di al-Shaulatiyyah karena tidak ada lagi yang memacu guru-guru di al-Shaulatiyyah demikian aktif menghadapi siswa terpilih itu. Tidak ada lagi yang bisa menjadi contoh terdekat yang mendorong aktif murid-murid al-Shaulatiyyah setelah Zainuddin pergi.

Zainuddin dinilainya sebagai ahli ilmu sekaligus inspirasi ahli ilmu dalam hal ketaatan, kesabaran, ketekunan, keshalihan, kecerdasan, kejujuran, dan kecintaannya pada madrasahnya. Zainuddin dinilainya sebagai ilmu karena terlalu banyak pelajaran yang diambil oleh keluarga besar al-Shaulatiyyah dari pribadi Zainuddin. Zainuddin menjadi kitab, menjadi catatan, menjadi natsar (prosa), menjadi syair (puisi). Zainuddin menjadi pujian atas keagungan ilmu dan ahlinya. Wujud Zainuddin menurut Syaikh Salim adalah ilmu itu sendiri. Ilmu yang hidup yang pernah dimiliki al-Shaulatiyyah.

Kini kurang lebih 85 tahun setelah Maulana al-Syaikh meninggalkan madrasah itu, namanya masih menggema di tanah Makkah. Syaikh Salim telah tiada dan digantikan putranya Syaikh Mas’ud lalu digantikan oleh Syaikh Majid. Semuanya mengenang Zainuddin. Zainuddin putra Lombok yang dihormati oleh gurunya karena keluhuran budi, keluasan ilmu dan keagungan pribadinya.

Pantaslah sekembalinya Syaikh Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki dari Lombok didepan murid-muridnya beliau berikrar bahwa Maulana al-Syaikh Zainuddin adalah manusia yang tiada bandingannya. Zainuddin adalah manusia yang tiada duanya. Beliau berkata:
ما فيه غده فى العالم
Zainuddin tiada duanya di dunia.
Salam untukmu wahai guruku.
Kepergianmu adalah duka ulama haramain, duka kehilangan dunia Islam, duka kehilangan murid Nahdlatul Wathan.

 

****
Cuplikan dari buku Trilogi Cinta Maulana (buku kedua)
Catatan Murid Maulana
Dari Majlis al-Aufiya’ wal-Uqala’
Penulis: Muhammad Thohri Khairi Yasri, Fahrurrozi, Satriawan, Zakaria

Join Channel WhatsApp

Sekretariat: Jl. Raya Mataram – Lb. Lombok KM 45 Anjani Lombok Timur

© 2024 Nahdlatul Wathan by LEMTIK NW

Portal Akses
Pusat Unduhan
Dokumen
  • SK Kemenkuhmam
  • Sejarah NW
  • Wasiat Renungan Masa
Share via
Copy link