Raden Tuan Guru Bajang
- redaksi
- January 24, 2014
A. Kelahiran, Asal Muasal Pemberian Nama Zainuddin Atsani dan Tuan Guru Bajang
Al-Maghfurlah Maulana Syaikh TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid adalah seorang panutan, yang memegang teguh ajaran Islam bermazhab Syafi’i. Keteguhan dalam memegang ajaran agama diimplementasikan dalam kehidupannya, baik sebagai seorang pemimpin umat maupun sebagai kepala rumah tangga. Bagaimanapun cintanya terhadap seseorang, namun kalau salah menurut agama, unsur-unsur subjektivitasnya-pun tidak akan mampu mengalahkan hukum agama yang melekat dalam dirinya.
Seperti itulah suasana keagamaan yang dikembangkan Maulana Syaikh entah sebagai pemimpin organisasi, warga negara, pemimpin umat, maupun sebagai kepala keluarga. Dari rahim istri-istrinya hanya dikaruniai 2 orang putri, Hj. Rauhun dari rahim istrinya Hj. Johariah dan Hj. Sitti Raihanun Zainuddin Abdul Majid (Ketua Umum PB NW sekarang) terlahir dari wanita keturunan ulama asal Jenggik Lombok Timur, Hj. Rahmatullah. Dari kedua putri tersebut terlahir 12 orang cucu laki dan perempuan. Dan sebagai seorang ulama besar tentu merindukan seorang pengganti yang akan meneruskan perjuangannya membesarkan organisasi. Dari semua cucunya, Zainuddin Atsani, satu-satunya cucu yang diberikan gelar Tuan Guru Bajang oleh Al-Maghfurlah Maulana Syaikh. Bahkan gelar tersebut diberikan sejak Zainuddin bisa berjalan dalam usia 9 bulan. “Ia dipangil Tuan Guru Bajang oleh Tuan Guru ( Maulana Syaikh) sejak baru bisa berjalan, dan usianya baru 9 bulan” tutur Ummi Hj. Rahmatullah istri Maulana Syaikh yang masih hidup. Sejak itulah Zainuddin Atsani dikenal sebagi Tuan Guru Bajang oleh masyarakat. Dan mendapat perlakuan yang cukup positif dari jamaah. Bahkan Maulana Syaikh pernah berbicara dihadapan jamaah pengajian “Mele mek gitak aku ke? Mek gitak wah tuan guru bajang. Iye wah foto kopian-ku” (mau kalian lihat saya? Kalian lihat sudah tuan guru bajang. Dia sudah foto kopian/duplikat saya).
Maulana Syaikh terkenal memiliki tingkat keilmuan yang tinggi, yang tentu tidak mudah mengambil keputusan untuk memberikan gelar pada seseorang. Bukan lantaran Zainuddin Atsani adalah seorang cucu, namun karena Zainudin Atsani memang telah memiliki keunikan tersendiri sejak masih dalam kandungan, buktinya dari 7 cucu laki-laki tidak satupun dari mereka diberi gelar Tuan Guru Bajang kecuali Tuan Guru Bajang Zainuddin Atsani.
Rupanya gelar Tuan Guru Bajang yang diberikan pada cucunya ini merupakan motivasi awal perkawinan antara Maulana Syaikh dengan istrinya Hj. Rahmatullah yang konon satu-satunya istri yang dipilihkan oleh orang tua Maulana Syaikh, TGH. Abdul Majid. Karena Hj. Rahmatullah ini keturunan seorang ulama dengan harapan agar keturunannya nanti bisa melahirkan seorang ulama pula. “Sejak saya berumur 10 tahun orang tua Tuan Guru (TGH. Abdul Majid) sudah membicarakan dengan orang tua saya untuk menikahkan saya dengan tuan guru. Padahal pada saat itu saya tidak pernah berfikir untuk menikah, saya bilang sama TGH. Abdul Majid bahwa saya tidak akan menikah sampai tua” tutur Hj. Rahmatullah.
Baru setelah Hj. Rahmatullah berumur 20 tahun dinikahkan dengan Maulana Syaikh dan setelah 15 tahun usia perkawinan baru dikaruniai seorang putri, Hj. Sitti Raihanun Zainuddin Abdul Majid (ibunda Tuan Guru Bajang KH. Lalu Gede M. Zainuddin Atsani). Pada saat Hj. Sitti Raihanun mengidam anak-anaknya, Hj. Rahmatullah selalu mendapatkan firasat dan pertanda bahwa Hj. Sitti Raihanun akan hamil, “setiap anakku, Hj. Sitti Raihanun hamil selalu dijaga sama ular dan selalu saya bermimpi dan melihat sesuatu” tuturnya. Namun yang aneh, katanya, pada Zainuddin Atsani, dia tidak melihat apa-apa dan tidak dijaga ular seperti cucu-cucunya yang lain. Ternyata pertanda kehamilan itu diketahui oleh Maulana Syaikh. Kala itu Maulana Syaikh memerintahkan Hj. Rahmatullah untuk membuka semua jahitan pakaian Hj. Sitti Raihanun. “Saya disuruh untuk melepaskan semua jahitan pakaian yang biasa dikenakan Hj. Sitti Raihanun untuk disimpan, Raihanun akan hamil tolong lepaskan semua jahitan pakaian yang dikenakannya dan disimpan” tutur Hj. Rahmatullah meniru perkataan suaminya.
Zainuddin Atsani lahir pada tanggal 6 Januari 1981 di Rumah Desa (Gedeng Dese) yang juga tempat lahirnya Maulana Syaikh. Beliau terlahir dari pasangan Drs. H. Lalu Gede Wiresentane – Hj. Sitti Raihanun Zainuddin Abdul Madjid (putri bungsu Maulana Syaikh). Ketika itu, Zainuddin Atsani lahir dalam keadaan bersih tanpa darah. Maulana Syaikh langsung menimangnya sambil memperhatikan seluruh badan cucunya. Hal ini berlangsung selama beberapa hari sebelum diberikan nama. Tidak lama kemudian Hj. Rahmatullah dipanggil Maulana Syaikh, “ni wah pengentikku, iye taok jak turunan aranku, Zainuddin Atsani ye jari aranan” (ini sudah yang akan menggantikan saya, dialah tempatnya akan turun nama saya, Zainuddin Atsani itulah jadi namanya) tutur Hj. Rahmatullah lagi-lagi menirukan perkataan Maulana Syaikh.
Oleh Maulana Syaikh, Hj. Rahmatullah diminta untuk menyampaikan kepada Hj. Sitti Raihanun “Badaq Sitti Raihanun, ni wah penggentikku, Zainuddin Atsani iye arane. Suruk Sitti Raihanun badaq Wiresentane” (Beritahu Sitti Raihanun, ini sudah penggantiku, Zainuddin Atsani itulah jadi namanya. Suruh Sitti Raihanun memberitahu Wiresentane). Setelah Drs. H. Lalu Gede Wiresentane mendapat pesan dari Maulana Syaikh, beliau menjawab “Napi-napi pekayun Maulana Syaikh, tiang terima dengan ikhlas” (Apapun yang disampaikan oleh Maulana Syaikh, saya terima dengan ikhlas). Hal ini menunjukkan ketaatan dan kehormatan Drs. H. Lalu Gede Wiresentane kepada Maulana Syaikh. Akhirnya putra Drs. H. Lalu Gede Wiresentane diberikan nama Muhammad Zainuddin Atsani. Akan tetapi karena Drs. H. Lalu Gede Wiresentane merupakan keturunan bangsawan dari Bonjeruk, maka ditambahkanlah kata “Lalu” dan “Gede”, sehingga menjadi Lalu Gede Muhammad Zainuddin Atsani.
Dalam setiap kesempatan, Maulana Syaikh selalu memanggil Zainuddin Atsani dengan panggilan “Tuan Guru Bajangku”, “Zainuddin Atsaniku”, dan “Atsaniku”. Bahkan Maulana Syaikh mempercayakan keturunan Zainuddin Atsani yang akan mewarisi nama Zainuddin selanjutnya. Keturunan Zainuddin Atsani yang laki nantinya akan menjadi Zainuddin Atsalits (Zainuddin ke tiga) dan seterusnya. Nama Tuan Guru Bajang mulai dikenal dikalangan jamaah NW saat dirinya selalu diikutkan pengajian-pengajian pada saat usia balita hingga beranjak remaja. Bahkan Tuan Guru Bajang kerap kali menggantikan kakeknya menghadiri pengajian. Bila sang kakek berhalangan hadir, walaupun masih kecil kerapkali menggantikan niniknya mengadiri pengajian, dia cukup duduk saja dan pengajian diisi oleh Masyaikh Ma’had. “Para jamaah merasa cukup antusias dengan kehadiran Zainudin Atsani yang masih kanak-kanak, yang hanya sekedar duduk menggantikan kakeknya”, kata Ust. Asror yang pernah menghadiri suatu pengajian yang diwakili Zainuddin Atsani.
Hingga menjelang wafatnya Maulana Syaikh, Tuan Guru Bajang banyak mendapatkan wasiat yang bersifat khusus dalam upaya meneruskan perjuangan kakeknya membesarkan organisasi NW untuk umat dan masyarakat.
Pembangunan MAK Pancor
Suatu ketika, disaat persiapan pembangunan MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan) di Pancor, H. Muksin Makbul menghadap kepada Maulana Syaikh untuk menyampaikan dana pembangunan MAK di Pancor. Pada saat itu, Maulana Syaikh dalam bahasa Sasak mengatakan “Wah anta laporan tipak tuan guru bajang? Lapor juluk ito, dait berunding kanca tuan guru bajang!” (Sudah anda melaporkan ke tuan guru bajang? Lapor dulu sana, dan berdiskusi dengan tuan guru bajang!).
Peristiwa Kebon Ayu
Pada suatu ketika, Maulana Syaikh akan mengadakan pengajian sekaligus meresmikan sebuah madrasah di desa Kebon Ayu – Gerung – Lombok Barat. Akan tetapi, oleh Bupati Lombok Barat, yang pada saat itu dijabat oleh H. L. Mujitahid, Maulana Syaikh dilarang mengadakan pengajian di desa Kebon Ayu dengan alasan orang-orang Kebon Ayu tidak setuju. Akan terjadi keributan jika sampai Maulana Syaikh mengadakan pengajian. Kebetulan tokoh penentang itu bernama Amaq Ribut. Untuk membahas masalah ini, Pengurus Daerah NW Kabupaten Lombok Barat dipanggil oleh Bupati Lombok Barat. Hadir dalam pertemuan itu antara lain Bupati, Muspida, Dandim, serta Kapolres Lombok Barat. Dihadapan peserta yang hadir, Bupati mengatakan agar Maulana Syaikh jangan sampai pergi ke Kebon Ayu untuk menghadiri pengajian tersebut, dan tidak akan bertanggung jawab terhadap keselamatan Maulana Syaikh jika sampai terjadi apa-apa di Kebon Ayu.
Akan tetapi, pada hari-H, Maulana Syaikh tetap berangkat ke Kebon Ayu. Bersama rombongan, Maulana Syaikh berangkat dari rumah Pajang. Beberapa orang yang turut serta dalam mobil rombongan Maulana Syaikh diantaranya Drs. H. Alidah Nur, H. Sulaeman, H. Yahya, H. Sabir, H. Mustafa dan Tuan Guru Bajang yang duduk dalam pangkuan Maulana Syaikh. Pada saat itu, Tuan Guru Bajang masih sangat kecil.
Dalam perjalanan ke Kebon Ayu, terlihat disepanjang jalan penjagaan sangat ketat. Tentara disebar sepanjang jalan setiap kurang lebih 40 meter. Hal ini dilakukan agar jangan sampai Maulana Syaikh sampai ke Kebon Ayu. Begitu pula dengan orang-orang yang berkendara/berjalan ke arah Kebon Ayu, yang menggunakan peci ataupun pakaian seakan-akan pergi pengajian, pasti akan dicegat oleh aparat yang berjaga. Akan tetapi, berkat kekeramatan Maulana Syaikh dan atas pertolongan Allah SWT, tidak ada satupun aparat dan Muspida (yang berjaga disepanjang jalan) melihat mobil Maulana Syaikh. Sesampainya Maulana Syaikh dilokasi pengajian, jamaah bertangisan karena menyangka Maulana Syaikh tidak akan datang karena situasi yang sedang genting. Dihadapan jamaah pengajian, Maulana Syaikh sambil memangku Tuan Guru Bajang, berulang-ulang kali mengatakan “kacang arane ine, lemak lamun uwah beleq tuan guru bajang sine, mesak-mesakne ngadepin sak ngene-ngene” (kacang namanya ini, besok kalau sudah besar tuan guru bajang ini, sendirian dia akan menghadapi yang seperti ini).
Malam Wafatnya Maulana Syaikh
Pada malam wafatnya Maulana Syaikh (maghrib, malam rabu), duduk dihadapan pembaringan Maulana Syaikh, Drs. H. Lalu Gede Wiresentane, H. Maksum, dan Drs. H. Alidah Nur. Sedangkan Tuan Guru Bajang yang kala itu tengah beranjak remaja, duduk disamping pembaringan Maulana Syaikh hingga larut malam. Tiba-tiba Hj. Rahmatullah (Ninik Tuan Guru Bajang) memanggil Tuan Guru Bajang “Gede wah jauk malem ne, bekelor juluk jauk malem ne” (Gede sudah larut malam ini, makan dulu sudah larut malam ini). Lantas Tuan Guru Bajang menjawab “Nggih, masih ne tiang ngantih juluk, masih ndekne man” (Iya, masih ini saya menunggu dulu, masih belum), tanpa sedikitpun beranjak dari pembaringan Maulana Syaikh.
Menurut penuturan saksi mata yang hadir pada saat itu, posisi duduk Tuan Guru Bajang di samping pembaringan Maulana Syaikh, Tuan Guru Bajang duduk dengan menekukkan kaki kebelakang (seperti posisi tahiyat awal) sembari mendekatkan mukanya berhadap-hadapan dengan muka Maulana Syaikh. Dan beberapa kali kaki Maulana Syaikh terlihat bergerak-gerak.
B. Riwayat Pendidikan
Riwayat pendidikan Raden Tuan Guru Bajang KH. Lalu Gede M. Zainuddin Atsani Lc., M.Pd.I. juga sama dengan riwayat pendidikan Maulana Syaikh sebagai alumnus Madrasah As-Shaulatiyah Makkah Al-Mukarramah pada tahun 2007. Gelar Lc diraih di Universitas Jami’atul Ulum Waa Technologyiah Yaman, Jurusan Syari’ah Islamiyah pada tahun 2007. Pada tahun 2011, beliau berhasil meraih gelar Magister Pendidikan Islam di Universitas Darul Ulum Jombang. Dan saat ini, beliau sedang menempuh pendidikan S3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
C. Kiprah Raden Tuan Guru Bajang
Sebagai tokoh sentral organisasi dalam mengembangkan organisasi Nahdlatul Wathan, Raden Tuan Guru Bajang KH. Lalu Gede M. Zainuddin Atsani mendapatkan kepercayaan di berbagai posisi penting, antara lain:
- Penasehat Ikatan Pelajar Nahdlatul Wathan Kabupaten Lombok Barat tahun 1995,
- Ketua Ikatan Pelajar Mahasiswa Nahdlatul Wathan Makkah tahun 2001-2007,
- Wakil Ketua Yayasan Al-Masyhur NW Praya tahun 2007 – sekarang,
- Pimpinan KBIH NW Mataram tahun 2009 – sekarang,
- Wakil Ketua Yayasan Pondok Pesantren Syaikh Zainuddin NW Anjani tahun 1999-2011,
- Sekretaris Persatuan Alumni As-Shaulatiyah NW (PAS NW) tahun 2011 – sekarang,
- Sekretaris Yayasan Pondok Pesantren Syaikh Zainuddin NW Anjani tahun 2011 – sekarang,
- Rektor IAIH NW Lombok Timur tahun 2012 – sekarang,
- Ketua Pengurus Wilayah NW NTB periode 2012-2017.
Kehadiran Raden Tuan Guru Bajang KH. Lalu Gede M. Zainuddin Atsani dalam melanjutkan perjuangan Al-Maghfurlah dalam membesarkan organisasi membuat jamaah NW merasa memiliki kekuatan baru. Bagi beliau, organisasi NW merupakan amanah yang harus tetap dijaga dan dikembangkan sesuai dengan khittah yang telah ditetapkan Al-Maghfurlah. “Saya berharap warga NW tetap bersatu merapatkan barisan dibawah ketua umum PB yang sah, Hj. Sitti Raihanun Zainuddin Abdul Majid, sesuai wasiat ninik. PB itu satu bukan dua atau tiga, itu yang harus kita pegang teguh sebagai warga NW” ingat Tuan Guru Bajang KH. Lalu Gede M. Zainuddin Atsani dalam setiap pengajiannya.
Share via: